Cari di Blog ini


Home Hubungi Saya
2009-08-11

Kumpulan Fatwa Risalah Ramadhan  

Oleh:

Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits Al-Fahhamah
Muqbil bin Hadi al-Wadi’i

 

Soal 1:
Apakah wajib berniat shaum di bulan Ramadhan setiap harinya ataukah cukup satu kali niat saja untuk sebulan penuh? Dan kapan sempurnanya hal itu ?Jawab:
Nabi Muhammad bersabda,
“Setiap amalan bergantung pada niat dan bagi setiap seseorang (akan mendapatkan) apa yang dia niatkan.”
Maka ini adalah dalil tentang keharusan niat dalam amalan-amalan. Dan yang jelas adalah seseorang harus berniat di setiap harinya. Dan bukan artinya ia harus mengatakan, “Nawaitu untuk berpuasa pada hari ini dan itu di bulan Ramadhan.” Akan tetapi niat adalah maksud atau tujuan, bangunmu untuk melaksanakan sahur dianggap sudah berniat demikian juga penjagaanmu dari makanan dan minuman adalah berarti sudah berniat.
Dan adapun hadits,
“Barangsiapa yang tidak bermalam dengan niat shaum maka tidak ada shaum baginya,”
Ini adalah hadits mudhtarib2. Walaupun sebagian ulama menghasankannya tapi yang benar adalah
mudhtarib.  Hadits mudhtorrib adalah hadits yang datang dari banyak jalan dan berbeda-beda lafazhnya sehingga tidak bisa untuk dirajihkan, dan hadits mudhtarib ini termasuk dalam kerangka hadits-hadits dhaif.

 

Soal 2:
Apabila seseorang bangun dari tidurnya setelah terbit fajar pada hari pertama di bulan Ramadhan kemudian dia makan, sedang dia dalam keadaan tidak mengetahui kalau hari itu adalah awal bulan Ramadhan dan diberitahukan setelahnya. Apakah ia terus berpuasa atau berbuka ?
Jawab:
Ya, ia berpuasa dan tidak ada mudharat baginya karena ia mengira masih ada sisa malam kemudian dia berpuasa dan puasanya benar.

 

Soal 3:
Apakah boleh bagi seorang yang ragu akan awal masuknya bulan Ramadhan untuk berpuasa sehari sebelumnya?
Jawab:
Dari kalangan Al-Hanabilah (pengikut-nya madzhab Ahmad ) ada yang berpendapat seperti itu akan tetapi yang benar adalah tidak dibolehkan puasa sebagaimana sabda Nabi Muhammad

“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan shaum sehari sebelumnya atau dua hari sebelumnya.”
Dan dari sahabat Ammar bin Yasir ,
“Barangsiapa yang berpuasa pada hari syakk (ragu-ragu) maka telah bermaksiat kepada Abul Qasim.” Maka yang shahih sekali lagi adalah tidak boleh berpuasa dan Nabi Muhammad bersabda,
“Berpuasalah kalian dengan melihat ru’yah dan berbukalah dengan melihat ru’yah. Jika tertutupi awan maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban 30 hari.” Maka tidak ada lagi hal yang tersisa setelah keterangan ini. Shoum wishol (puasa lagi setelah berbuk)

 

Soal 4:
Apabila seseorang tertidur dan belum berbuka dan ia tidak bangun dari tidurnya kecuali pagi-pagi pada hari yang kedua apakah baginya untuk melanjutkan shaumnya atau

Jawab:
Baginya untuk meneruskan shaumnya. Yang demikian itu pernah terjadi pada Qois bin Sormah, ia pergi bekerja dan waktu itu tepat permulaan diwajibkannya shaum. Apabila ia tertidur sebelum makan maka ia tidak membolehkan dirinya untuk makan, kemudian ia pulang ke istrinya dan bertanya, “Apakah ada makanan?” Istrinya menjawab, “Tidak. Tetapi aku akan pergi dan memintakan makanan untukmu.” Setelah kembali ternyata didapatinya ia sudah tidur lalu istrinya berkata, “Engkau telah rugi,” atau yang semakna dengan ucapan ini. Kemudian ia pergi kerja lagi sampai pertengahan hari dan tertidur lagi, kemudian Allah menurunkan ayat,
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, … sampai firman-Nya….
"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar."

Soal 5 :
Apabila seseorang sedang makan sahur kemudian muadzin mengumandangkan adzan apakah wajib baginya untuk membuang/ mengeluarkan apa-apa yang ada di mulutnya ataukah memakannya ?
Jawab :
Adapun yang ada di mulutnya maka tidak boleh untuk mengeluarkannya akan tetapi tidak boleh memakan sesuatu apapun setelahnya kecuali air berdasarkan hadits sunan Abu Dawud dari Abu Hurairah  bahwa Nabi Muhammad bersabda,
“Apabila muadzin telah mengumandangkan adzan, sedangkan bejana masih dalam tangan seseorang, maka hendaklah dia mengambil keperluan darinya.”
Maka dengan hadits ini tidak mengapa seseorang untuk meminum apabila telah dikumandangkan adzan oleh muadzin dengan syarat air tersebut masih dipegang oleh tangannya.

Soal 6:
Apakah terdapat keutamaan bagi seseorang yang meninggal pada bulan Ramadhan, yang menunjukkan pada kebaikan si mayyit ?
Jawab:
Memang ada, tetapi tidak ada hadits yang menunjukkan tentang hal ini.

Soal 7:
Apa hukumnya seorang perempuan yang hamil jika ia berbuka di bulan Ramadhan karena takut akan janinnya, dan apapula hukumnya bagi seorang wanita yang menyusui berbuka di bulan Ramadhan karena takut akan susuannya ?
Jawab:
Para ulama berselisih, dari kalangan mereka ada yang mengatakan wajib baginya untuk mengqadha, sebagian yang lain mengatakan menqadha dan membayar kafarah, dan sebagiannya lagi mengatakan tidak ada kewajiban baginya untuk menqadha tetapi wajib baginya membayar kafarah, serta sebagiannya lagi mengatakan tidak ada kewajiban baginya baik qadha maupun membayar kafarah. Dan berdalil dengan hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi  bahwasanya beliau datang kepada Nabi, kemudian Nabi mengatakan kepadanya, “Makanlah!” Kemudian Anas bin Malik berkata,
“Aku dalam keadaan shaum.” Kemudian Nabi Muhamad SAW
berkata,
“Apakah engkau tahu bahwasanya Allah ta’ala menggugurkan setengah sholat atas orang yang musafir (boleh menqashar) dan menggugurkan shaum bagi yang hamil atau menyusui.”
Maka mereka berdalil dengan ini, bahwa-sanya tidak ada kewajiban apa-apa baginya. Dan yang nampak bagiku adalah wajib baginya untuk menqadha saja dan tidak diharuskan baginya untuk membayar kafarah dan tidak sah pembayaran kafarahnya, maka dia dituntut untuk menqadha saja. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

ُ“Barangsiapa di antara kalian sakit atau mengadakan suatu perjalanan maka diganti dengan hari-hari yang lainnya.”

Soal 8:
Apa hukumnya bagi seorang wanita yang haidh, sedang ia dalam keadaan shaum yang haidhnya itu dengan jarak yang sedikit sebelum berbuka ?
Jawab:
Wajib baginya untuk menqadha hari itu jika muadzinnya itu mengumandangkan adzan tepat pada waktunya. Adapun apabila telah terbenam matahari kemudian datang haidh tersebut sedangkan muadzin tidak mengumandangkan adzannya kecuali seperti adzannya Syi’ah yaitu ketika langit sudah mulai gelap, maka shaumnya dianggap sah dan tidak wajib baginya untuk menqadha. 

Soal 9:
Apa hukumnya seorang wanita yang hamil apabila ia berbuka di bulan Ramadhan karena melahirkan?
Jawab:
Wajib baginya untuk menqadha.

Soal 10:
Dan apapula hukumnya bagi wanita jika ia berbuka sehari atau dua hari sebelum melahirkan disebabkan karena keluarnya sebagian darah ?
Jawab:
Jika keluar sebagian darah, maka ini dianggap
sebagai darah nifas dan wajib untuknya
menqadha.
Berbuka karena sakit bertahun-tahun
Soal 11:
Apa hukumnya orang yang berbuka disebabkan karena sakit yang terus menerus sampai beberapa tahun ?
Jawab:
Apabila ditetapkan oleh medis bahwasa-nya dia tidak diharapkan lagi kesembuhan-nya sedangkan Allah Maha Penyembuh dan berapa banyak orang yang sakit yang telah ditetapkan oleh para dokter bahwasanya tidak diharapkan lagi kesembuhannya kemudian Allah Ta’ala menyembuhkannya. Apabila mereka menetapkan tidak diharap-kan kebaikannya, maka tidak mengapa dia berbuka dan memberikan makanan setiap harinya kepada orang miskin. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Dan bagi orang-orang yang tidak mampu hendaknya membayar fidyah dengan memberikan makanan kepada orang miskin.”
Demikian pula Anas bin Malik  ketika beliau tidak mampu untuk melaksanakan shaum maka beliau memberikan makanan setiap harinya kepada orang miskin.

Soal 12:
Apa hukumnya menggunakan hal-hal di bawah ini di siang hari di bulan Ramadhan, di antaranya memakai siwak dan sikat gigi/odol ?
Jawab:
Adapun memakai siwak dari batangnya maka ini tidak mengapa, walaupun warna-nya hijau. Adapun odol atau sikat gigi maka kami menasehatkan untuk meninggalkannya di bulan Ramadhan. Dan kami tidak memiliki dalil bahwa itu akan membatalkan shaum, akan tetapi wajib untuk berhati-hati sehingga tidak sampai mengalir atau masuk sesuatau ke dalam perutnya. Nabi Muhammad bersabda,
“Dan sempurnakanlah pada waktu istinsyaq kecuali dalam keadaan shaum.”
Karena sesungguhnya apabila dia dalam keadaan shaum maka ditakutkan akan mengalir atau masuk airnya ke dalam perutnya.

Soal 13:
Dan demikian pula hukum memakai wangiwangian dengan segala macam bentuknya seperti al-bukhur, al-’uud, dan wangi-wangian masa kini yang semerbak ?
Jawab:
Adapun wangi-wangian dan bukhur maka tidak mengapa, insya Allah. Dan seyogyanya seseorang untuk menjauhi wangi-wangian yang mengandung alkohol di bulan Ramadhan dan selain bulan Ramadhan lebih khusus lagi adalah dari jenis kolonia (cologne), maka sesungguhnya ini telah diketahui mengandung alkohol.

Soal 14:
Demikian juga apa hukumnya memakai obatobatan yang berupa tetes mata atau tetes telinga atau untuk hidung ?
Jawab:
Saya katakan sesungguhnya keluar dari perkara ini adalah dengan cara berbuka dan sungguh dia sudah diperbolehkan untuk berbuka sesuai dengan firman Allah Ta’ala,
{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِیْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةُ مِنْ أَیَّامٍ أُخَر}

“Barangsiapa yang di antara kalian dalam keadaan sakit atau bepergian, maka hendaknya diganti dengan hari-hari yang lainnya.”
Maka apabila dia terbukti sakit sedang dia membutuhkan kepada pengobatan maka kami nasehatkan supaya berbuka dan menqadha. Dan apabila telah dinyatakan oleh para dokter satu obat di siang hari di bulan Ramadhan, maka jika dia tidak berbuka tidak membatalkannya kecuali apa-apa yang sampai pada tenggorokannya. Dan kebanyakannya orang yang diobati matanya dengan obat tetes kadang-kadang mendapat-kan rasanya pada tenggorokannya, maka kami nasehatkan untuk menjauhi akan hal ini.

Soal 15:
Dan begitu pula apa hukumnya memakai suntikan apakah didapatkan perincian tentang masalah ini?
Jawab:
Dari kalangan ahlul ilmi ada yang mengatakan bahwa apabila suntikannya ini terbukti memberikan tenaga atau mengan-dung
bahan makanan, maka tidak boleh untuk memakainya. Dan apabila tidak mengandung unsur makanan maka boleh untuk memakainya. Dan telah lalu nasehat kita kepada orang yang sakit supaya berbuka sehingga tidak terdapat syubhat dalam shaumnya kemudian setelah itu dia menqadhanya.

Soal 16:
Hukum mencabut gigi yang kadang-kadang menyebabkan pada air liurnya terdapat darah ?
Jawab:
Air liur yang mengandung darah dari dirinya sendiri maka tidak membatalkan. Jika sekiranya ditunda mencabut giginya hingga waktu berbuka maka ini lebih baik karena kadang-kadang ditakutkan akan membahayakan dirinya jika dia mencabut gigi sedang dia dalam keadaan shaum. Jika tidak demikian, sekiranya dia akhirkan lagi sampai malam maka ini adalah lebih baik lagi.

Soal 17:
Demikian pula apa hukumnya orang yang pingsan dan yang muntah ?
Jawab:
Adapun orang yang pingsan maka dia tidak dikategorikan membatalkan shaumnya demikian halnya dengan orang yang muntah. Adapun hadits yang menyatakan,
م“Barangsiapa yang muntah maka tidak ada qadha baginya dan barangsiapa yang sengaja muntah maka hendaknya ia menqadha.”
Ini adalah hadits yang lemah.

 

Soal 18:
Dan apa hukumnya berenang dengan cara
menyelam ?
Jawab:
Yang penting adalah tidak sampai ada yang masuk ke tenggorokannya sesuatu apapun. Akan tetapi adapun berenang di lautan maka ini berbeda keadaannya, karena apabila airnya itu mengandung asin maka sangat memungkinkan sekali akan masuk ke tenggorokan. Karena kami pernah berenang di lautan, dan seseorang tidak merasakan kecuali tiba-tiba sudah terasa di dalam tenggorokannya maka kami menasehatkan untuk menjauhi hal ini. Dan adapun kalau airnya tidak mengandung asin maka tidak akan sampai rasanya ke tenggorokan dan kadang-kadang juga masuk ke tenggorokan.

Soal 19:
Apa hukumnya seorang perempuan merasakan masakannya ketika ia memasak makanan dengan ujung lidahnya supaya mengetahui apa yang kurang dari bumbu-bumbu masakan tersebut ?
Jawab:
Tidak mengapa tentang hal itu, insya Allah. Dan jangan sampai ada yang masuk ke tenggorokannya sesuatu apapun.

Soal 20:
Apa pula hukum menggunakan peralatan oksigen bagi seseorang yang menderita penyakit sesak nafas ?
Jawab:
Yang jelas ia bukanlah termasuk makanan atau minuman. Maka aku tidak melihatnya hal ini membatalkan shaum.

Soal 21:
Apa yang diwajibkan dari kafarat atas seorang laki-laki yang dia menjima’i istrinya di siang hari bulan Ramadhan ?
Jawab:
Telah datang dua hadits yaitu dari Aisyah dan Abu Hurairah  dan keduanya dalam Shahih. Bahwasanya salah seorang laki-laki datang menemui Rasulullah  dan berkata, “Wahai Rasulullah aku telah binasa.” Kemudian kata Rasul, “Apa yang membuatmu binasa?” Kemudian ia menjawab, “Aku telah menjima’i istriku siang hari di bulan Ramadhan.” Dan dalam hadits Abu Hurairah, berkata seorang laki-laki, “Ya, Rasulullah aku telah binasa.” Beliau berkata, “Apa yang telah membuat engkau binasa?” Kemudian dia menjawab, “Aku telah menjima’i istriku di siang hari bulan Ramadhan.” Beliau berkata, “Apakah engkau punya budak untuk kemudian engkau merdekakan?” Dia menjawab, “Tidak.” Kata Rasul, “Apakah engkau mampu untuk shaum dua bulan terus menerus?” Kemudian dia menjawab, “Tidak.” Kemudian kata Rasul, “Apakah engkau mampu untuk memberi makan 60 orang miskin?” Dia menjawab, “Tidak.” Kemudian dia duduk. Kemudian Rasul mendatanginya dengan membawa satu karung tamr (kurma) kemudian
berkata, “Ambillah ini dan engkau bershodaqoh dengan ini!”. Kemudian laki-laki menjawab, “Ya Rasulullah, tidak ada yang lebih faqir dari aku – demi Allah– di antara dua kota Madinah ini.” Kemudian Rasulullah tersenyum dan berkata,
“Ambillah ini, dan beri makanlah keluargamu!” Atau dengan makna yang seperti ini. Maka apabila didapatkan seorang budak maka hendaklah dia memerdekakannya, jika tidak memiliki budak maka berpindah pada shaum dan tidak boleh berpindah kepada memberikan makanan jika dia mampu untuk melakukan shaum. Karena sesungguhnya memberikan
makanan ini sangat mudah bagi orang-orang kaya sedangkan shaum dua bulan berturut-turut terdapat di dalamnya masyaqqah (kesulitan/ keberatan).

Soal 22:
Dan apa pula hukumnya atas seseorang perempuan apabila ia jima’ tersebut dengan keridhaan darinya dan dia tidak mencegah akan hal itu ?
Jawab:
Apabila hal ini timbul dari keridhaannya maka si wanita tersebut berdosa. Adapun keharusan untuk membayar kafarah maka sesungguhnya Rasulullah  tidak menyu-ruhnya akan hal itu. Kecuali Rasul mengatakan kepada seorang laki-laki, “Perintahlah istrimu jika dia ridha untuk mengerjakan hal itu (yaitu membayar kafarah).” Akan tetapi apabila si perempuan itu yang menyebabkan suaminya mencumbuinya sehingga terjadilah apa yang terjadi maka si perempuan itu berdosa, jika ternyata dia terpaksa maka dosa dikembalikan kepada suaminya.

Soal 23:
Apa hukumnya orang yang terjadi padanya hal itu (jima’) sedang dia dalam keadaan lupa bahwa saat itu siang hari dalam bulan Ramadhan?
Jawab:
Wallahu a’lam. Apakah ada yang melakukan jima’ dalam keadaan dia lupa bahwasanya dia berada di bulan Ramadhan atau tidak ada. Apabila memang didapatkan orang yang lupa maka hukumnya sama seperti hukum orang yang lupa yaitu tidak menqadha. Akan tetapi aku tidak mengira bahwa di sana ada yang melakukan jima’ karena lupa bahwa ia berada di siang hari di bulan Ramadhan kecuali terjadi di awal bulan Ramadhan, dan apabila dia lupa maka apakah istrinya juga lupa. Adapun mem-bayar kafarah maka diharuskan padanya.

Soal 24 :
Dan apa yang harus dilakukan oleh orang yang terjadi padanya hal ini (jima’) sedangkan dia bodoh tentang hukum ?
Jawab :
Dia tetap harus membayar kafarah yang telah aku sebutkan sebelumnya karena sesungguhnya hadits tentang ini adalah mutlak.

Soal 25:
Apa hukumnya orang yang memeluk istrinya dan menciumnya tanpa berjima’?
Jawab:
Aisyah  berkata, “Bahwasanya Nabi memeluknya di bulan Ramadhan.” Kemudian Aisyah mengatakan, “Siapa di antara kalian yang paling dapat menahan kebutuhannya?” Dan Ummu Salamah mengatakan bahwa-sanya Nabi Muhammad SAW menciumnya, demikian pula Aisyah mengatakan bahwasanya Nabi Muhammad SAW menciumnya. Dan Aisyah mengatakan bahwasanya Nabi adalah orang yang paling dapat menahan kebutuhannya. Apakah Ummul Mu’minin ini termasuk seseorang yang paling dapat menahan kebutuhannya ataukah tidak. Maka yang jelas bahwasanya hal itu tidak mengapa. Akan tetapi apabila ditakutkan menyebabkan jima’ maka wajib baginya untuk meninggalkan hal itu.

 

Soal 26:
Apa hukumnya seseorang apabila dia bermimpi di siang hari di bulan Ramadhan ?
Jawab:
Tidak ada apa-apa baginya. Dan dia hendaknya melanjutkan shaumnya.

 
Soal 27:
Aku bermimpi pada bulan Ramadhan dan aku tidak tahu apakah aku bermimpi pada hari pertama ataukah hari kedua dan aku juga tidak mengetahui hal ini kecuali setelah aku mengganti celana dalam, maka apa hukum shalat dan shaumnya ?
Jawab:
Adapun shalat maka dia shahih, insya Allah dan shaumnya pun shahih. Dan hendaknya engkau pergi kemudian mandi. Dan Nabi Muhammad SAWbersabda, 
“Sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan keringanan atas umatku dari kesalahan dan kelupaan dan apa-apa yang ia terpaksa atasnya."
Maka engkau adalah sebagai orang yang lupa maka dalam hal ini tidak ada sesuatu apapun bagimu, insya Allah, dan engkau tidak diharuskan untuk menqadha baik itu shaum maupun shalat karena sesungguhnya qadha dalam hal shaum itu sudah diketahui yaitu apabila sakit atau dalam keadaan perjalanan, demikian pula yang haidh.
Adapun shalat maka Nabi  bersabda,
“Barangsiapa yang tertidur dari melaksanakan sholat atau ia lupa darinya maka waktunya adalah ketika ia mengingatnya.”

Soal 28:
Apakah dibolehkan bagi seorang yang bepergian di bulan Ramadhan untuk berbuka terlebih dulu di rumahnya ataukah harus melewati beberapa cara ?
Jawab:
Diperbolehkan bagi orang yang punya azzam (niat) untuk bepergian untuk makan terlebih dahulu di rumahnya sebelum ia keluar. Dan dalil yang menunjukkan akan hal ini adalah dari shahabat Anas bin Malik, bahwasanya ketika
beliau hendak bepergian maka kemudian dihadapkan kepadanya makanan, kemudian dia mengatakan tentang hal itu bahwasanya
Rasulullah SAW telah mengerjakannya, atau yang semakna dengan ini. Dan telah lewat bersama kita yang menunjukkan hal itu di dalam kitab Shahih Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shahihain. Dan Syaikh Al-Albani telah menuliskan satu risalah tentang hal ini. Dan adapun perbedaan antara shaum dengan shalat bahwa sesungguhnya orang yang shaum diperbolehkan baginya untuk berbuka sejak di rumahnya apabila dia hendak bersiap-siap untuk bersafar, berbeda dengan orang yang shalat yang tidak diperbolehkan baginya untuk menqashar sehingga dia keluar dari kampungnya. Berdasarkan apa-apa yang telah datang riwayat dari Anas bin Malik , bahwasanya Rasulullah SAW shalat Dhuhur di masjidnya empat raka’at kemudian beliau shalat di Dzil Khulaifah dua raka’at, maka ini menunjuk-kan antara perbedaan shaum dengan shalat.


Soal 29:
Di tempat kami sangat banyak sekali masjid, sebagiannya melaksanakan shalat dengan 8 rakaat dan sebagiannya 20 rakaat, sebagiannya lagi memanjangkan shalatnya dan sebagian lagi memendekkan. Maka masjid manakah yang benar
yang sesuai dengan perbuatan Nabi ?
Jawab :
Jika kalian mampu maka hendaknya kalian melaksanakan shalat di masjid pada pertengahan malam atau sepertiga malam terakhir dengan sebelas raka’at atau tiga belas raka’at sebagaimana dalam hadits Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW tidak menambah raka’at pada bulan Ramadhan atau selainnya dari sebelas raka’at. Dan telah datang pula riwayat yang mengatakan tiga belas raka’at. Dan saya nasehatkan untuk mengakhirkan shalat tarawih pada pertengahan malam atau sepertiga malam terakhir. Karena sesungguhnya Nabi SAW bersabda,
”Barangsiapa yang takut akan tertidur pada akhir malam maka hendaknya dia witir pada awalnya, dan barangsiapa yang menginginkan untuk bangun di akhir malam maka hendaknya witir pada akhirnya karena sesungguhnya shalat
pada akhir malam adalah disaksikan.” (HR.Muslim)
Dan ketika Umar  keluar, beliau mendapati Ubay bin Ka’ab  sedang melaksanakan shalat bersama mereka (orang-orang). Kemudian ia berkata,
“Alangkah nikmatnya satu hal yang baru ini dan orang-orang yang tertidur darinya juga tidak mengapa.”
Maka apabila mereka mampu untuk pergi ke masjid kemudian menegakkan sunnah di sana (di dalamnya) dan melaksanakan shalat pada pertengahan malam atau setelahnya dengan sebelas raka’at dan mereka memanjangkannya
sesuai dengan kemampuannya. Karena sesungguhnya shalat malam adalah nafilah dan bukan termasuk ke dalam shalat yang fardhu. Maka Nabi SAW bersabda,
“Sesungguhnya aku akan masuk (atau baru mulai) dalam shalat maka aku menginginkan untuk memanjangkannya akan tetapi aku tidak meneruskannya karena/ketika aku mendengar suara tangisan seorang bayi karena kasihan pada ibunya.”
Dan Nabi SAW mengatakan kepada Muadz bin Jabal , “Apakah engkau telah membuat fitnah, wahai Muadz?” Yaitu disebabkan karena beliau memanjangkannya di dalam shalat. Dan Rasulullah SAW mengatakan juga,
“Apabila salah seorang di antara kalian shalat sendiri, maka hendaknya memanjangkan sekehendaknya dan apabila ia shalat bersama orangorang atau bersama manusia maka hendaklah ia meringankannya karena di antara mereka ada yang lemah, ada yang sakit dan ada yang memiliki kebutuhan.”
Maka ini semua adalah di dalam shalat yang fardhu, adapun di dalam shalat nafilah maka tidak wajib, bahkan seseorang boleh melaksanakan shalat sekehendaknya dan boleh bagi dia untuk beristirahat dari satu raka’at menuju kepada rakaat yang lainnya atau dia pergi dulu ke rumahnya. Dan jika dia mampu untuk melaksanakan shalat di rumahnya, maka ini juga afdhal. Karena Nabi SAW bersabda ketika beliau shalat bersama manusia atau orang-orang dua malam atau tiga malam di bulan Ramadhan, beliau mengatakan,
”Shalat yang paling afdhal bagi seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat yang wajib atau fardhu.”
Bahwa yang paling afdhal shalat bagi seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat yang wajib. Walaupun sebagian orang mengatakan bahwa engkau telah menepati sunnah yang muakkadah dikarenakan menyelisihi syi'ah, karena sesungguhnya mereka melihat bahwa shalat tarawih itu adalah bid’ah. Maka kita tidak menyepakati mereka akan tetapi kita menginginkan untuk menyepakati atau sesuai dengan hadits Rasulullah  dan apabila ditakutkan tertidur ataupun disibukkan di dalam rumahnya dari anak-anaknya atau yang lainnya maka kami nasehatkan untuk keluar menuju ke masjid.

Soal ke-30 :
Apabila aku shalat di masjid kemudian imam di dalamnya shalat dengan dua puluh rakaat maka apakah aku ikut menyempurnakan bersamanya dalam rangka mengikuti imam ataukah aku shalat delapan raka’at lalu aku witir sendirian kemudian keluar ?
Jawab :
Saya nasehatkan hendaknya engkau shalat delapan raka’at saja dan kemudian engkau shalat witir sendirian. Maka sesungguhnya mengikuti sunnah Rasulullah  adalah lebih utama, karena Nabi SAW mengatakan,
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melaksanakan sholat.”

Soal ke-31:
Apakah dibolehkan bagi seseorang untuk melaksanakan shalat bersama keluarganya di rumah, yaitu shalat tarawih ?
Jawab :
Tidak mengapa akan hal itu dan hal itu adalah afdhal sebagaimana yang telah lewat. Wanita keluar sholat tarawih dengan wangiwangian

Soal ke-32 :
Apa hukumnya keluarnya seorang wanita dalam keadaan berdandan dan memakai wangiwangian untuk melaksanakan shalat tarawih berdasarkan keyakinan bahwa ini adalah sebagai realisasi dari firman Allah Ta’ala,” 
"Ambillah (pakailah) perhiasan-perhiasanmu pada setiap masjid"
Jawab :
Nabi SAW memberikan rukhshah kepada para wanita untuk keluar menuju ke masjid pada shalat Isya’ dengan syarat mereka keluar dengan memakai (atau menutupi) pakaiannya (dengan syarat mereka keluar tertutup) yaitu dengan memakai pakaian yang tidak kelihatan pandangan dan tidak pula memakai wangi-wangian. Dan Abu Hurairah  berkata bahwasanya Nabi SAW bersabda,
“Perempuan mana saja yang keluar dalam keadaan memakai wangi-wangian dengan tujuan supaya orang-orang mendapatkan baunya, maka ia telah berzina.”

Soal ke-33 :
Mematikan lampu pada waktu shalat supaya menambah kekhusyuan sebagaimana yang terjadi pada diri kami dalam bulan Ramadhan. Maka apa pendapatmu tentang hal ini dan apakah hal ini sampai kepada perkara yang bid’ah ?
Jawab :
Tidak, hal ini tidak sampai kepada batasan bid’ah dan bukan pula merupakan suatu yang sunnah. Maka apabila seseorang merasa menambah kekhusyu'an apabila ia memejamkan kedua matanya dan memati-kan lampu, bahkan akan menjadikannya lebih jauh dari sifat riya’ maka hal ini tidak mengapa. Walaupun memang bahwasanya manusia berbeda dalam hal ini, maka tidak sepatutnya untuk mewajibkan atau menarik/ menekan seseorang kepada pendapat-nya dan mematikan lampu. Sebagian orang tidak menyukai akan hal itu.

Soal ke-34 :
Apa pendapatmu tentang hadits, “Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid” ?
Jawab :
Sebagian di antara mereka (ahli ilmu) ada yang menganggap bahwa hadits tersebut adalah mauquf kepada Hudzaifah  dan sebagian yang lain ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya Hudzaifah berkata kepada Abdullah bin Mas’ud, “Bahwa sesungguhnya orang-orang itu mereka melaksanakan shalat antara engkau dan antara ini dan itu.” Dan tampaknya mereka semuanya berada di Kufah. Maka berkata Abdullah ibn Mas’ud, “Barangkali mereka-lah yang benar sedang engkau yang salah.” Mereka (sebagian ahli ilmu) mengatakan, jika sekiranya hadits ini marfu’ maka tidak mungkin Abdullah ibn Mas’ud berani untuk mengatakan kepada Hudzaifah, “Barangkali mereka yang benar dan engkau yang salah.”
Dan jika sekiranya hadits ini benar (shahih) maka tafsirannya menjadi bahwa tidak ada i’tikaf yang lebih afdhal. Oleh karena itu, maka ini menjadi dalil keutamaan atau keafdhaliyahan i’tikaf di tiga masjid ini seperti yang telah terdapat dalil-dalil yang menyebutkan tentang keutamaan shalat di tiga masjid. Dan kalau tidak demikian maka ayat juga datang secara mutlak yaitu,
“Dan janganlah kalian menggauli istri-istrimu sedang kalian beri’tikaf di masjid.”
Dan tidak terdapat keterikatan (pengkhususannya) dengan tiga masjid, lagi pula hadits ini adalah idhthirab, terdapat di dalamnya kadangkadang Hudzaifah meriwayatkannya mauquf dan pada riwayat lain meriwayatkannya dengan marfu’, maka jauhlah dari amalan-amalan kaum muslimin. Dan aku juga mengetahui bahwa ada sebagian saudara-saudara yang telah menuliskan risalah tentang hal ini. Akan tetapi tidak semestinya untuk menyempit-kan manusia (kaum muslimin) dengan se-suatu apapun yang Allah Ta’ala telah berikan keluasan atas mereka.

Soal ke-35 :
Seorang perempuan yang sudah lanjut usianya dan sudah berubah akalnya dengan sebagian perubahan-perubahan, kemudian ia meninggal dan ia punya hutang shaum dua kali bulan Ramadhan, sedangkan ia tidak mengetahui Ramadhan dari selainnya disebabkan karena terjadi hilang ingatan/akalnya (atau terjadi perubahan akalnya). Apakah bagi anaknya untuk memberikan makanan untuk menggantikan shaumnya ataukah ia mesti shaum ?
Jawab :
Keadaan dia adalah termasuk orang-orang yang diangkat atau diberikan rukhshah kepadanya. Nabi SAW bersabda : 
“Diangkat pena dari tiga orang, dari orang yang gila sehingga ia sadar, dari anak kecil sehingga di baligh dan dari orang yang tertidur sehingga ia bangun kembali.” Maka tidak ada keharusan apa-apa untuknya.

Soal ke-36 :
Apa hukumnya seseorang yang melakukan onani di bulan Ramadhan, apakah ia diharuskan seperti orang yang menjima’i istrinya ?
Jawab :
Ia menjadi berdosa. Adapun memberikan kafarah maka ia tidak dituntut sedangkan tentang dosanya dikarenakan Nabi SAW bersabda yang
meriwayatkannya dari Rabb-nya,
“…meninggalkan makanannya, minumannya dan syahwatnya karena aku.”
Dan tidak ada pula atasnya kewajiban untuk mengqadha karena sesungguhnya mengqadha itu tidak ada kecuali dengan dalil. Sedangkan dalil terdapat pada orang-orang yang musafir dan yang sakit apabila berbuka. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِیْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةُ مِنْ أَیَّامٍ آُخَرَ}
“Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan maka hendaknya menggantinya pada hari yang lainnya.”
Demikian pula dengan wanita yang haidh, dia hendaknya mengqadha shaum dikarenakan hadits Aisyah  dalam Shahihain. Dan juga orang yang menyusui dan yang hamil apabila ia berbuka diwajibkan untuk mengqadha dikarena-kan hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi . Dan perkara qadha ini juga adalah dikarenakan ayat yang telah lewat, wallahu a’lam.

Soal ke-37 :
Apakah hukumya orang yang shalat tarawih pada bulan Ramadhan kemudian ketika ia membaca surat Adh-Dhuha ia memerintahkan kepada makmum yang ada di belakangnya untuk mengangkat suara-suaranya atau untuk mengucapkan kalimat ‘laa ilaha illallahu wallahu akbar wa lillahilhamd’. Dan ia mengira bahwasanya itu adalah perkara sunnah karena Rasulullah SAW ketika tidak datang kepadanya wahyu kemudian turun wahyu kepadanya maka ia bertakbir dan memerintahkan para sahabatnya untuk bertakbir. Dan apakah akan diterima shalat dengan memberikan tambahan di dalamnya dari jenisnya ?
Jawab :
Adapun ucapan ‘laa ilaha illallahu wallahu akbar’ sesudah membaca surat Adh-Dhuha, maka terdapat satu hadits yang dhaif yang telah disebutkan oleh Al-Hafiz Adz-Dzahaby di dalam kitab ‘Thabaqatul Qura Al-Kibar’ dan ia mengatakan di dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama Ibnu Abi Barzah. Dan ia bukan yang dimaksud adalah Qasim bin Abi Barzah, karena Qasim bin Abi Barzah adalah tsiqah. Akan tetapi yang dimaksudkan adalah Ahmad bin Muhammad. Maka tidak terdapat hadits dari Nabi  tentang perintah untuk hal itu atau untuk mengatakan hal itu akan tetapi justru ucapan itu adalah dikategorikan sebagai bid’ah. Adapun membuat tambahan-tambahan di dalam shalat dengan sesuatu hal yang termasuk dari jenisnya maka tidak boleh, karena kita sesungguhya bukanlah orang yang membuat keributan di dalam agama Allah. Dan telah terdapat di dalam Shahih dari Nabi SAW, bahwa beliau berkata kepada Malik bin Huwairits  dan sahabat-sahabatnya,
“Shalatlah kalian seperti halnya kalian melihat aku melaksanakan shalat.” Kecuali jika tambahan itu dalam hal doa-doa
qunut atau sujud atau tasyahud sebagaimana yang telah kami terangkan di dalam kitab ‘Riyadhul Jannah fii Raddi ala A’daai As-Sunnah’.


Soal ke-38 :
Apakah boleh mendahulukan shaum yang tathawwu atas shaum yang wajib. Contohnya seorang laki-laki masih mempunyai hutang shaum di bulan Ramadhan kemudian ia hendak melaksanakan shaum satu hari, maka apakah ia mendahulukan yang wajib dulu ataukah yang tathawwu ?
Jawab :
Apabila ditakutkan tertinggal hari itu atau hari-hari itu (yaitu hari-hari shaum tathawwu ) maka tidak mengapa akan hal ini. Karena sesungguhnya waktu mengqadha itu adalah waktu yang panjang/waktu yang luas. Aisyah berkata,
“Kami tidak mengqadha kecuali di bulan Sya’ban,” karena beliau disibukkan dengan Rasul SAW. Dan Nabi SAW bersabda, yang meriwayatkan dari Rabb-nya :
“Dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang Aku cintai dari perkara-perkara yang Aku wajibkan atasnya dan masih saja ia mendekatkan diri kepada-Ku dengan yang nafilah sehingga Aku mencintainya…” sampai akhir hadits. Maka yang paling afdhal adalah mendahulukan apa-apa yang telah Allah Ta’ala wajibkan atasnya. Akan tetapi jika di sana ada hari yang utama dan ia takut meninggalkannya atau tertinggal, sedangkan waktu mengqadha adalah waktu yang luas maka tidak mengapa, insya Allah. Seperti enam hari di bulan Syawal (setelah puasa wajib di bulan Ramadhan pent) atau seperti tiga hari di setiap bulan dan seperti shaum Senin-Kamis dan juga shaum hari Arafah dan hari Asyura.

Soal ke-39 :
Apa hukumnya shaum bagi orang yang musafir yang dia berniat untuk tinggal dalam waktu yang ditentukan, seperti sebulan misalnya ?
Jawab :
Apabila ia berniat melebihi 20 hari maka hendaklah ia shaum dan tidak dianggap sebagai musafir. Dan barangsiapa yang mengatakan bahwa ia dianggap sebagai musafir maka telah menyelisihi keumuman manusia dan makna secara bahasa dari makna kata ‘safar’. Sedangkan Nabi SAW, beliau tinggal di Tabuk selama 19 hari dan berkata Ibnu Abbas “Apabila kami menetap setelah itu maka kami menyempurnakan shalat.”
Yang berarti bahwa kami tidak lagi sebagai musafir dan ini adalah pendapat(ijtihadnya) Ibnu Abbas . Akan tetapi ini yang lebih dekat, insya Allah Ta’ala.

Soal ke-40 :
Seorang laki-laki mencumbui istrinya di siang hari di bulan Ramadhan kemudian ia
keluar maninya sedangkan ia tidak mengetahui apakah hal itu haram ataukah tidak haram. Maka apakah diwajibkan atasnya sesuatu ?
Jawab
Apabila ia mencumbui istrinya dengan tujuan untuk memenuhi syahwatnya dengan mengeluarkan maninya di luar daripada farji (kemaluan) istrinya maka ia dianggap ber-dosa. Karena sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda dari apa-apa yang meriwayatkan-nya dari Rabb-nya,
“…meninggalkan makanannya, minumannya dan syahwatnya karena Aku.” Dan apabila ia mencumbui istrinya dalam keadaan tidak mengetahui atau bodoh akan hukumnya maka hendaknya ia bertaubat kepada Allah dan apabila ia mengetahui maka hendaknya ia bertaubat kepada Allah jika ia mengetahui hal itu. Dan apabila ia mencumbui istrinya sedangkan ia dalam keadaan mengetahui bahwa mencumbui ini adalah hal yang diperbolehkan baginya kemudian ia memeluknya dan ia beranggapan bahwa hal ini tidak haram atasnya kecuali jima’ kemudian setelah itu ia mengeluarkan mani dan ia tidak bermaksud untuk mengeluarkan mani, maka tidak apa-apa baginya. Dan walau bagaimanapun maka tidak diwajibkan atasnya untuk memberikan kafarah jima’ pada setiap keadaan, dan ini adalah ucapan (pendapat) Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah ta’ala dan ini adalah shahih.

Soal ke-41 :
Apa pendapatmu tentang zakat yang diberikan kepada pemerintah di bulan Ramadhan, apakah ia sah ataukah tidak sah? Mohon terangkan kepada kami.
Jawab :
Zakat yang diserahkannya yang dimaksudkan adalah zakat fitrah maka pemerintah biasanya mengambilnya dalam bentuk uang. Sedangkan zakat fitrah itu ialah seperti apa yang telah diberitakan oleh Rasulullah SAW dari hadits Abdullah bin Umar dan hadits Abu Said Al- Khudri  yaitu satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum atau satu sha’ dari anggur yang dikeringkan atau satu sha’ dari akid (keju). Maka jika ia mendapatkan kemudahan dari salah satu dari empat macam tersebut maka silakan untuk mengeluarkannya dan jika tidak memudahkannya dari hal tersebut maka hendaknya dari pokok hasil bumi.
Adapun menggantinya atau menghargakannya dengan uang maka yang shahih dalam hal ini adalah tidak sah. Akan tetapi apabila pemerintahan mengharuskannya dengan hal ini dan tidak menguatkannya dengan dalil-dalil, maka jika seseorang mampu maka hendaklah ia mengeluarkan dari biji-bijian atau dari empat macam tadi. Kemudian ia memberikan harganya atau uangnya kemudian ia memberikan atas apa yang diinginkan atau diharuskan oleh pemerintahan sehingga ia selamat dari kejahatannya. Dan jika ia tidak mampu untuk mengeluarkan zakat dua kali maka sah untuknya mengeluarkan dari macam yang pertama. Maka sah baginya untuk mengeluarkan salah satunya dan dosanya kembali kepada pemerintah.

Soal ke-42 :
Ada seseorang yang bertanya tentang perempuan yang tidak mampu untuk melaksanakan shaum Ramadhan dikarenakan melahirkan atau kehamilan.
Jawab :
Maka hendaknya ia meng-qadha, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’anul Karim,
“Maka barangsiapa di antara kalian sakit atau bepergian maka hendaknya mengganti pada hari yang lainnya.”
Maka hendaknya ia mengqadha pada waktu yang ia mampui, baik itu setelah setahun atau dua tahun atau bahkan tiga tahun. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.
Dan telah terdapat di dalam Sunan (dalam salah satu kitab sunan pent) dari hadits Anas bin Malik Al- Ka’bi . Ia berkata, “Aku menemui Rasulullah, kemudian Rasulullah berkata, ‘Kemarilah kepada makanan’, kemudian aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sedang dalam keadaan shaum (yakni dia sedang dalam keadaan musafir).’ Kemudian Nabi SAW berkata, Sesungguhnya Allah menggugurkan atas orang yang musafir setengah sholat (atau keringanan) shalat dan menggugurkan bagi yang musafir dan bagi yang hamil dan orang yang menyusui dari shaum (keringanan shaum),” atau yang semakna dengan ini. Dan yang dimaksud dengan meletakkan di sini adalah meletakkan sementara, berdasarkan ayat yang kalian telah mendengarnya yaitu,{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِیْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةُ مِنْ أَیَّامٍ أُخَر}
“ Barangsiapa di antara kalian yang sakit atau bepergian maka hendaknya mengganti pada hari yang lainnya.”
Sebagian kalangan ahlil ilmi ada yang mengatakan bahwa jika sudah lewat satu tahun sedang ia belum mengqadha Ramadhan yang pertama maka diharuskan baginya untuk membayar kafarah bersamaan dengan qadha. Atau mengatakan bahwa wajib atas seseorang, siapa saja baik itu dalam keadaan sakit atau keadaan musafir, kemudian lewat satu tahun maka wajib baginya untuk membayar kafarah disertai dengan membayar qadha (menggantinya). Akan tetapi tidak ada dalil di sana baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulullah SAW, hanya dari sebagian perkataan salafush shalih saja. Dan kita mengambil dengan dhahir ayat bahwasanya Allah Ta’ala tidak mengatakan,
“Barangsiapa di antara kalian yang sakit atau bepergian maka hendaklah ia menggantinya pada hari-hari yang lain. Dan apabila melewati satu tahun sedang ia belum mengqadha maka sedekahlah diamembayar kafarah."
"Dan tidaklah Rabb-mu ini memiliki sifat pelupa". Maka tidak ada baginya kecuali mengqadha saja jika ia mampu walaupun ia lewat tiga kali Ramadhan atau bahkan lebih. Kemudian setelah itu jika ia mampu untuk mengqadha maka
mengqadhalah, wallahul musta’an. Dan mengqadha ini tidak mesti berurut-urutan sehingga tidak memberatkan kepadanya. Jika sekiranya dia shaum tiga hari kemudian berbuka pada satu hari sesuai dengan kekuatan dan kemampuan, maka lakukanlah. Maka Aisyah mengatakan bahwasanya tersisa padanya sesuatu (shaum) Ramadhan, yaitu disebabkan karena haidh kemudian beliau tidak mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban. Dan yang dimaksudkan oleh Aisyah  bahwa sesungguhnya qadha ini tidak mesti segera, wallahul musta’an.

Soal ke-43 :
Apakah diperbolehkan bagi seorang perempuan yang sedang haidh atau nifas untuk menyentuh mushaf Al-Quran dan membacanya, terlebih khusus di bulan Ramadhan yang penuh berkah, dimana orang-orang mengkhususkannya untuk meng-khatam-kan Al-Quran ?
Jawab :
Aku tidak mengetahui di sana ada larangan tentang hal itu, sedangkan hadits, “ Tidak boleh seseorang menyentuh Al-Quran kecuali yang thahir (suci).“
Maka sebagian mereka (ahlil ilmi ) ada yang berpendapat bahwa hadits itu adalah mursal. Dan jika sekiranya hadits tersebut dengan berbagai banyak jalannya adalah menjadi shalih (shahih) untuk dipakai sebagai hujjah, maka ia diambil kepada apa yang dikatakan oleh Imam Asy-Syaukani di dalam kitabnya, yaitu Nailul Authar. Beliau mengatakan, “Tidak boleh disentuh Al-Quran kecuali oleh yang thahir, yakni adalah maksudnya yang muslim. Maka tidak boleh orang kafir menyentuhnya karena Nabi SAWmelarang untuk membawa safar Al-Quran ke negeri musuh.”
Dan adapun firman Allah Ta’ala,
لاَیمََسُّهُ إِلاَّ اْلمُطَهَّرُوْنَ
“ Tidak ada yang menyentuhnya kecuali almuthaharuun “, Maka yang dimaksud dengan mereka adalah almalaaikat, seperti halnya perkataan Imam Malik di dalam Muwaththa-nya berkata, “Bahwa ayat ini ditafsirkan dengan firman Allah Ta’ala, "Jangan demikian, sesungguhnya dia (petunjuk di dalam Al-Qur'an) adalah suatu peringatan, Maka barangsiapa yang menghendaki niscaya dia mengingatkannya, Dalam lembaran-lembaran (kitab-kitab) yang dimuliakan, Yang ditinggikan lagi disucikan, Di tangan para utusan, Yang mulia lagi (pula) takwa" (QS.’Abasa : 11–16), yakni yang dimaksudkan adalah para malaikat. Seperti halnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, 

Dan Al-Qur'an itu bukanlah dibawa turun oleh syaithan-syaithan. Dan tidaklah patut mereka membawa Al-Qur'an itu dan merekapun tidak kuasa. Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan daripada mendengarkan Al-Qur'an itu. (Qs. Asy- Syu'aro 26 : 210-212)

Soal ke-44 :
Apakah dibolehkan baginya untuk menghadiri majlis-majlis ilmu dan durus-durus di masjid ?
Jawab :
Tidak mengapa, insya Allah. Sedangkan hadits yang menyatakan,
" Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi yang haidh ataupun yang junub", ini adalah hadits yang dhaif. Dan Nabi SAWmengatakan kepada Aisyah , “Sesungguhnya haidhmu bukanlah pada tanganmu.”
Nabi SAW juga mengatakan kepada Aisyah , “Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orangorang
yang haji kecuali tidak boleh untukmu berthawaf di Baitul Haram."
Maka tidak mengapa baginya untuk menghadiri durus-durus ilmu di masjid. Walhamdulillahi rabbil alamin.
Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari-Muslim)
Telah berlalu dalam hidup kita belasan bahkan puluhan bulan Ramadhan. Apakah amaliyah Ramadhan kita telah menjadikan kita hamba Alloh yang beruntung dan meraih janji-janjinya?
Akankah kita biarkan Ramadhan yang akan datang kita jalani dengan kebodohan dan sekedar menggugurkan kewajiban semata? Segeralah raih janji-janji Alloh dengan amal yang berdasarkan ilmu. Buku ini akan menjawab tuntas keraguan dan kerancuan amaliyah Ramadhan kita selama ini berbuka ?


Mau diapakan?

Anda dapat pula menandai artikel ini dengan layanan berikut:

Artikel yang berhubungan!