Cari di Blog ini


Home Hubungi Saya
2009-08-14

Polemik Presiden Wanita  


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Saya adalah seorang agamis, bukan orang politikus"
Sebelum melangkah memaparkan masalah, saya mesti ambil ancang-ancang dan pasang kuda-kuda terlebih dahulu supaya nanti tiada kesan pada pembaca dua hal:

Pertama: Tulisan ini berbau politik dan penulisnya sedang melakukan pembunuhan karakter terhadap lawan politiknya. Tidak, sama sekali tidak, bagaimana mungkin penulis melakukan hal itu, lha whong dia bukan seorang aktivis partai, terjun datam kancah potitik juga enggak, dia hanyalah seorang santri yang tak sibuk mengikuti arus perkembangan dan hikuk pikuk politik praktis.
Kedua: Tulisan ini bernuansa pemberontakan, lantaran presiden Indonesia sekarang adalah wanita. Tidak, Demi Allah tidak, bagaimana dia bermaksud demikian, padahat dia dikenal sangat menganjurkan kepada masyarakatnya untuk taat dan menghormati para pemimpin serta mengecam tajam para provokator pemberontakan seperti pada tulisannya edisi lalu yang berjudul "Khawarij, Bahaya Mengancam Umat".
Sengaja saya utarakan hal ini terlebih dahulu agar pembaca tidak salah kesan terhadap maksud tulisan ini. Jadi, maksudnya bukan apa-apa, tak lain hanyalah membela hadits Nabi Muhammad dari hujatan para musuh yang menotaknya hanya berdasar pada akal, hawa nafsu, fanatik dan lain sebagainya. Tak pandang bulu siapapun orangnya dan suara sumbang apapun yang menerpanya.
Dahulu pemah dikatakan kepada Yahya bin Ma'in:
"Apakah engkau tidak khawatir bila orang-orang yang engkau kritik tersehut kelak menjadi musuhmu di hari kiamat?" Beliau menjawab: "Bila mereka yang menjadi musuhku jauh lebih kusenangi daripada Nabi yang menjadi musuhku, tatkata beliau bertanya padaku: 'Mengapa kamu tidak membela sunnahku dari kedustaan?!!'"

Dari Abu Bakrah berkata: "Allah memberikan manfaat kepadaku dengan suatu kalimat pada perang Jamal. Tatkala sampai khabar kepada Nabi bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, beliau bersabda:
"Tidak akan berbahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang wanita".


Sepanjang penelitian saya, ada lima orang yang meriwayatkan dari Abu Bakrah:
1. HasanAl-Bashri
Orang yang meriwayatkan dari beliau ada tiga:
a) Auf Al-A'rabi
Riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya, Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak , Al-Baihaqi dalam Sunan Kubra dan Al-Ismaili dalam Al-Mustakhrajnya sebagaimana dalam Fathul Bari . Al-Baghawi berkata:
"Hadits ini shahih". Al-Hakim berkata: "Hadits shahih sanadnya dan keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya"!
Saya berkata: "Imam Al-Hakim benar dalam menshahihkan hadits ini tapi beliau keliru tatkala menyatakan bahwa hadits ini tidak dikeluarkan Bukhari Muslim, karena hadits ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya
sebagaimana anda lihat sendiri. Semoga Allah mengampuni Imam Al-Hakim".
Berkata Al-Hazh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/54 mengomentari sanad Imam Bukhari: "Sanad hadits ini, seluruh rawinya bashriyyun (dari kota Bashrah)".
b) Humaid At-Thawiil
Riwayat Tirmidzi , Nasa'I  dan Al-Hakim dalam Al Mustadrak dari jalan Muhammad bin Al-Mutsanna dari Khalid bin Harits dengannya. Dan diriwayatkan Al-Hakim dari jalan Musaddad dari Khalid bin Harits dengannya. Dan diriwayatkan Ahmad dari jalan Hammad bin Salamah dengannya. Tirmidzi berkata: "Hadits Hasan Shahih".
Al-Hakim berkata: "Hadits ini shahih rnenumt syarat dua Syaikh (Bukhari Muslim) dan keduanya tidak mengeluarkannya". Saya berkata: Tadi sudah saya sampaikan bahwa ini adalah kesalahan beliau. Perhatikanlah!
Al-Hazh Ibnu Hajar berkata dal am Fathul Bari: "Al-Bazaar juga meriwayatkan hadits ini seraya berkomentar: "Banyak orang yang meriwayatkan hadits ini dari Hasan (Al-Bashri), tetapi yang paling bagus sanadnya adalah rwayat Humaid (At-Thawiil)".
c) Mubarak bin Fadhalah
Riwayat Ahmad. Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan Umar bin Syabbah dalam Kind, Akhbar Bashrah sebagaimana dalam Fathul Bari.
Sanad hadits ini dha'if, karena sekalipun Mubarak bin Fahdhalah adalah rawi yang shaduq (hasan haditsnya; tetapi dia adalah mudallis sebagaimana dikatakan Al-Hazh lbnu Hajar, sedangkan dia meriwayatkan dalam seluruh jalur di alas dengan lafazh an'anah"

 
2. Abdur Rahman bin Jausyan
Riwayat Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf dan Ath-Thayyalisi dalam Musnadnya dari beberapa jalan dari Uyainah dari Abdur Rahman bin Jausyan dengannya. Syaikh Al-Albani berkata dalam Invaul Ghalil: "Sanadnya jayyid (hasan). Uyainah adalah anaknya Abdur Rahman bin Jausyan, din dan hapaknya keduanya tsigoh (terpercaya)".

3. Bakkar bin Abdul Aziz bin Abu Bakrah
Riwayat Abu Nuaim dalam Akhbar Ashfahan, Ibnu Maasi dalam Juz Al-Anshari sebagaimana dalam AdDhaifah no. 436, Ibnu Adi dalam Al-Kamil , Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan Ahmad dengan lafazh:
Hancur kaum lelaki tatkala mereka taat pada wanita.
Al-Hakim berkata: "Hadits ini shahih dan keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya". Dan disetujui Adz-Dzahabi. Tetapi Syaikh Al-Albani mengatakan:
"Beliau (Dzahabi) lupa dengan apa yang dia sebutkan sendiri dalam Al-Mizan tentang biogra Bakkar ini: "Ibnu Main mengatakan: "Laisa bi Syai' (tidak ada apa-apanya). Ibnu Adi mengatakan: Dia tergolong rawi lemah yang ditulis haditsnya. Imam Dzahabi juga mengatakan dalam Adh-Dhu'afa: "Dha'if, dibawakan oleh Ibnu Adi". Syaikh Al-Albani menyimpulkan: Hadits dengan lafazh seperti ini adalah lemah, sebab kelemahan rawinya dan kesalahan rawi dalam menyampaikan hadits.

 
4. Abdur RahmanbinAbuBakrah
Riwayat Ahmad dari jalan Haudzah bin Khalifah dari Hammad bin Salamah dari Ali bin Zaid dengannya. Sanad hadits ini dha'if. Ali bin Zaid bin Jud'an ditegaskan oleh Al-Hazh ibnu Hajar dalam At-Taqrib sebagai rawi yang dha'if.'


5. Umar bin Al-Hajanna'
Riwayat lbnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, Al-Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah dan AlUqaili dalam Adh-Dhu'afa dari jalan Abdul Jabbar bin Abbas dari Atha' bin Saib, dari Umar bin Al-Hajanna'. Al-Uqaili berkata: "Hadits tidak ada mutaba'ahnya dan tidak dikenal kecuali darinya (Umar bin Al-Hajanna'). Dan Abdul Jabbar bin Abbas termasuk Syi'ah". Ucapan ini dinukil dan disetujui oleh Imam Dzahabi dalam Mizanul I'tidaldan Al-Hazh Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan. Al-Haitsami berkata dalam Majma' Zawaid: "Diriwayatkan Al-Bazzar dan dalam sanadnya terdapat Umar bin Al-Hajanna". Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa hadits ini temasuk kemungkarannya. Dan juga Abdul Jabbarbin Abbas, dia dikatakan oleh Abu Nuaim: "Tidak ada di Kufah seorang yang lebih pendusta daripadanya dan dianggap tsiqah (terpereaya) oleh Abu Hatim".
Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam Al-Bidayah wa Nihayah dari jalur Al-Baihaqi lalu berkomentar: "Munkar jiddan. Yang shahih adalah riwayat Bukhari dari Hasan Al-Bashri dari Abu Bakrah...".
Adapun syahid (penguat dari sahabat lain) hadits ini, saya tidak megjumpainya kecuali saw yaitu dari Jahir bin Samurah an, itupun sunadnya ddak shahih. Diriwayatkan oleh At-Thabrani dalam Al-Ausath. Al-Haitsami berkata dalam Majma' Zawaid: "Diriwayatkan At-Thabrani dalam Al-Ausath dari gurunya, Abu Ubaidah Abdul Waris bin Ibrahim. Saya tidak mengenalnya. Adapun perawi lainnya, semuanya terpereaya".
Kesimpulannya, hadits yang paling shahih dalam masalah ini adalah riwayat dari jalan Hasan Al-Bashri kemudian Abdur Rahman bin Jausyan, sedangkan jalur Bakkar bin Abdul Aziz dan Abdur Rahman bin Abu Bakrah -Insya Allah- menambah kekuatan hadits tersebut. Jadi, hadits ini adalah shahih dengan tiada keraguan di dulamnya. Oleh karena
itu saya tidak menjumpai seorang pakar ahli hadits-pun yang melemahkannya, bahkan Muhammad Al-Ghazzali sendiri dalam kitahnya "As-Sunnah Nubawiyyah Baina Ahli Hadits wa Ahli Fiqh" menyatakan: "Saya-pun telah mengamati hadits yang diriwayatkan itu. Walaupun ia tergolong shahih, sanad maupun matannya, namun apa kira-kira
artinya?"' !!!

Minimal ada dua hal penting yang dapat kita petik dari hadits mulia ini:

1. Wanita tidak boleh menjadi pemimpin negara.
Imam Syaukani berkata menjelaskan hadits ini dalam Nail Aurhar Jilid 4 hal. 617: 'Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa wanita bukanlah bidangnya mengurusi negara, dan tidak halal bagi suatu kaum untuk menyerahkan urusan negara kepada kaum wanita, karena menghindari perkara yang dapat menyebabkan kesengsaraan adalah wajib". Perkataan serupa juga diucapkan oleh Imam As-Shan'ani dalam Subul Salon. Bahkan, hal ini mempakan ijma' (kesepakatan) para ulama semenjak dahulu hingga sekarang,
Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah:
"Para ulama bersepakat bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi pemimpin, karena seorang pemimpin dia perlu keluar menegakkan perintah jihad serta urusan kaum muslimin dan menyelesaikan pertikaian munusia, sedangkan wanita adalah aurat, tidak boleh menampakkan diri, dia juga lemah untuk mengurus semua kepentingan. Dengan demikian, maka tidak layak mangku jabatan kepemimpinan kecuali kaum lakilaki. Demikian pula seorang pemimpin tidak boleh buta matanya, sebab dia tidak dapat membedakan orang yang sedang sengketa. Adapun riwayat bahwa Nabi mengangkut Ibnu Ummi Maktuman di Madinah dua kali, im hanyalah kepemimpinan sholat, bukan masalah merumuskan dan menghakimi".
Imam Ibnu Hazm berkata dalam Al-Fishal AlMilal :
"Seluruh golongan ahli kiblat (kaum muslimin) bersepakat, tak ada seorangpun diantara mereka yang membolehkan kepemimpinan wanita dan anak kecil melainkan kelompok Radhah, dimana mereka membolehkan kepemimpinan anak kecil yang belum baligh dan bayi di kandungan seorang ibu. Pendapat ini jelas keliru, sebab anak yang belum baligh belum dibebani, padahal seorang pemimpin dia dibebani untuk menegakkan agama. Wabillahi Tauq".
Lanjutnya: "Dan seorang imam diwajibkan harus dari Quraisy, baligh, laki-laki, tidak suka maksiat dan berhukum dengan Al-Qur'an dan sunnah saja", Imam As-Syanqithi berkata dalam Adhwaul Bayan (1/26) tatkala menyebutkan sepulah syarat pemimpin dalam Islam:
"Syarat kedua: Hendaknya pemimpin tersebut dari kaum laki-laki dan tidak ada perselisihan tentang masalah tersebut di kalangan ulama (lalu beliau mnvehutkan hadits di atas)". Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami' li Ahkamil Qur'an :
"Berkata Al-Qodhi Abu Bakar bin Al-Arabi: "Hadits ini merupakan nash bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi menjadi khalifah dengan tiada perselisihan pendapat tentangnya. Dan dinukil dari lbnu Jarir Ath-Thobari beliau membolehkan seorang wanita menjadi hakim tetapi ini tidak shahih darinya...dan diriwayatkan dari Umar bahwa beliau nendahalukan seorang wanita sebagai pengurus pasar dun inipun tidakshahih darinya. Maka janganlah engkau noleh dan meliriknya karena semua itu adalah desasdesus ahli bid'ah terhadap hadits!!!".
Demikianlah kesepakatan dan kesatuan faham para ulama. Anehnya masih ada saja orang yang mengotak-atik masalah ini dengan seenak udelnya. Masih segar dalam ingatan penulis sebuah judul dalam surat kabar menjelang pemilu tahun lalu "100 kyai se-Indonesia sepakat bolehnya presiden wanita". Suhhanallah, para ulama robbaniyyun dahulu hingga sekarang telah bersepakat tentang tidak bolehnya wanita sebagai pemimpin negara, tetapi mereka bersepakat tentang bolehnya.
Adakah kejahilan yang lebih dalam daripada ini?! La haula wa Laa Quwwata Illa
billahi.


2. Kecerdasan akal dan ketundukan para sahabat dalam menyikapi hadits Nabi yang dalam hadits ini diwakili oleh sahabat Abu Bakrah. Hal itu ditinjau dari beberapa segi:
a) Abu Bakrah berpegang teguh dengan nasehat dan bimbingan Nabi tatkala terjadi fitnah, beliau berkata: Maka tatkala Aisyah datang menuju kota Bashrah, saya mengingat sabda Rasulullah sehingga Allah menyelamatkanku dengan pesan tersebut,
b) Abu Bakrah menerima pasrah hadits tersebut tanpa meragukannya dengan alasan karena hanya dia sendiri yang mendengarnya dari Nabi
c) Abu Bakrah memahami bahwa makna hadits tersebut bukan khusus pada negeri Persia saja, namun mencakup umumnya para wanita, bahkan Aisyah, ummul mukminin sekalipun. Padahal tahukah anda siapa Aisyah? Wanita yang paling pandai sedunia.
d) Abu Bakrah tidak mempenentangkan hadits tersebut dengan kisah ratu Balqis, padahal dia termasuk sahahat yang mengerti tafsir Al-Qur'an, karena memang baginya tidak ada pertentangan antara hadits dengan Al-Qur an. Adapun orang yang ingin menodai kehormatan sahabat yang mulia ini seperti tuduhan sebagian kalangan bahwa Abu Bakrah menyampaikan hadits tersebut karena dia berada pada pihak Ali bin Abi Thalib dan ingin menjatuhkan lawan poltiknya yaitu Aisyah beserta pendukungnya, maka ketahuilah bahwa tuduhan seperti itu tidaklah keluar kecuali dari mulut kaum zindiq yang ingin menghancurkan Islam dari dalam!!!. 
Syubhat Para Pengkritik
Pengkritik hadits ini mengemukakan berbagai macam alasan. Sebagian menolaknya dengan akal seperti Syaikh Muhammad Ai-Ghazzali dalam bukunya "AsSunnah Nabawiyyah'  tatkala melecehkan hadits ini seraya mengatakan: "Ratu Batgis, Victoria (Ratu Inggris), Indira Gandhi (Persiden India), Golda Meir (Perdana Menteri Yahudi) telah memimpin bangsa mereka tapi toh mereka bahagia." Sehagian lagi ada yang beralasan bahwa haditsnya lemah seperti Prof. Dr. Nurcholis Majid dalam makalahnya yang dimuat di harian Jawa Pos 9 tatkala mengatakan:
"Hukum agama (Islam) tidak secara tegas mengatur boleh tidaknya wanita menjadi kepala negara atau kepala pemerintahan..." Lanjutnya lagi: "Memang ada hadits-hadits Rasulullah SAW yang menganjurkan jabatan kepala negara atau kepala pemerintahan semestinya dijabat oleh pria, meski begitu hadits-hadits tersebut lemah".
Sebagian lagi ada yang mementahkannya dengan alasan haditsnya hanyalah ahad seperti pernyataanWahyuni Widyaningsih, manajer kajian pada 'Elsad, Surabaya dalam tulisannya yang bertajuk "Presiden Pemmpuan di mata Islam" Sebagian lagi beralasan dengan latar belakang penuturan hadits seperti dinyatakan oleh Dr. Said Aqil Siradj, khatib Am PBNU dalam tulisannya yang bertajuk "Pro dan Kontra Presiden Wanita" 11 dan juga Dr. Alwi Shihab, Staf pengajar lulusan Universitas Harvard USA sekaligus ketua PKB dalam tulisannya yang bertajuk "Memperhatikan Prinsip daripada Label"Parahnya lagi, sebagian mereka menghujat dengan alasan perubahan zaman seperti ditutis oleh Dr Juwairiyah Dahlan, Kepala Jumsan Fak. Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya 13 -setelah menyebutkan kesepakatan ulama dan menegaskan bahwa hadits Abu Bakrah adalah shahih dari segi metodologi kritik hadits-: "Singkat kata, wanita waktu itu (pada zaman Rasul) selalu berada dalam tembok-tembok suami atau orang tuanya, mereka dikurung di rumah dengan sangat ketat. Tetapi sekarang situasi banyak bembah. Wanita banyak yang pandai terlibat secara intens pelbagai lapangan kehidupan. Jadi mereka sudah tahu seluk-beluk masalah...".
Demikianlah mereka bersatu menggonggong untuk memadamkan cahaya Allah, tetapi Allah pasti menghancurkan makar dan tipu daya mereka sekalipun mereka geram dan benci.
Kesimpulan argumen para pengkritik hadits di atas dapat disusun sebagai berikut:
1. Haditsnya lemah
2. Haditsnya hanya Ahad (tidak matawatir)
3. Bertenangan dengan Al-Qur'an tentang kisah Ratu Balqis
4. Latar belakang penuturan hadits
5. Pembahan zaman.
6 Menjawab Syubhat

1 Haditsnya Lemah
Haditsnya lemah seperti komentar Prof. Dr. Nurcholis Majid -Semoga Allah memberinya petunjuk
Jawaban: Ingin sekali rasanya saya mengucapkan kepada anda dengan kalimat Arab (yang artinya): Ini bukanlah bidangmu, maka menyingkirlah sana. Katakanlah padaku: Apakah anda melemahkan hadits ini berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang tertera dalam ilmu mushtholah hadits ataukah berdasarkan perasaan, hawa nafsu, akal dan kejahilan?!! Terus terang saja, saya berani menegaskan: "Bukan haditsnya yang lemah, tapi akal dan argumen anda yang lemah". Bagaimana tidak? Buktinya anda tidak mampu mengemukakan alasan tentang penyebab kelemahan hadits tersebut, padahal telah dicatat oleh para ahli hadits (sebagaimana di atas) dan dishahihkan oleh Imam Bukhari, Tirmidzi,Al-Hakim, Adz-Dzahabi, As-Suyuthi, Al-Albani dan lain-lain. Tidak ada perselisihan diantara mereka, bahkan diakui keshahihannya oleh Muhammad Al-Ghozzali yang biasa melemahkan hadits-hadits shahih!!! Lantas, bagaimana pendapat anda -wahai saudaraku pembaca- terhadap seorang jahil tentang ilmu hadits dan menyelisihi para tokoh ulama ahli hadits di atas?!! Mungkinkah mereka yang salah sedang Nurcholis yang benar?! Ataukah sebaliknya?! Jawablah sendiri wahai pembaca!.

2 Haditsnya Ahad, Tidak Mutawatir
Jawaban: Katakanlah kepada orang yang melontarkan alasan ini seperti lbu Wahyuni Widyaningsih: Siapakah pendahutu anda dalam alasan ini? Apakah mereka para sahabat Nabi'?! Tidak, buktinya sahabat Abu Bakrah tak mempersoalkannya. Apakah mereka para ulama ahli hadits dan atsar?! Ternyata juga tidak, buktinya tak ada seorangpun diantara mereka yang menggugatnya. Apakah ini pemikiran Mu'tazilah, kelompok sesat dan menyesatkan umat? Ya, benar sekali. Maka khabarkanlah padaku -wahai saudara pembaca- apakah para ulama sejak zaman para sahabat hingga sekarang berada dalam kesesatan dan Wahyuni cs yang mendapat petunjuk? Ataukah malah sebalikrya'?! Tak ragu lagi bagi orang yang arif tentang agama bahwa sangat mustahil bila para ulama semenjak dahulu hingga sekarang berada dalam kesesatan, maka label "sesat" hanyalah pantas disandang oleh para pengusung pemikiran ini. Kalau mau dipikir-pikir dan diputar balik alasan tersebut, ternyata bisa menjadi bumerang bagi orangnya sendiri sehiagga seperti dalam peribahasa Indonesia "senjata makan tuan". Kok bisa begitu'? Ya bisa saja tho, coba anda kirkan sebentar: "Pemikiran yang dilontarkan oleh mbak Widyaningsih tersebut apakah sudah mencapai derajat mutawatir ataukah masih dalam kategori ahad?! Jawabnya: Masih Ahad. Dengan demikian, maka kira tidak dapat menerima ucapannya dengan alasannya sendiri yaitu karena masih berderajat ahad, tidak sampai mutawatir. Apakah anda memahaminya?!

 

3 Kisah Ratu Balqis
Sebagian para rasionalisme menganggap bahwa hadits ini kontradiksi dengan AI-Qur'an yaitu tentang kisah Nabi Sulaiman bersama Ratu Balqis seperti diceritakan oleh Allah dalam Firman-Nya: Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana besar. (QS. An-Naml: 23).
Jawaban:
1. Kisah tentang ratu Saba' merupakan info tentang suatu kaum yang kar.
2. Setelah Ratu Saba' tersebut masuk Islam, dia tidak seperti semula tetapi di bawah kepemimpinan Nabi Sulaiman.
3. Seandainya memang benar hukumnya boleh pada syariat dahulu, tetapi hal itu bukanlah syari'at kita karena agama Islam telah sempurna dan membatalkan hal itu.
4. Kebiasaan mempertentangkan antara AlQur'an dengan hadits mempakan metode ahli bid'ah dan pengekor hawa nafsu yang ingin merusak agama.
5. Sesungguhnya Abu Bakrah, rawi hadits tidaklah memahami bahwa hadits tersebut hanya pada suatu peristiwa tertentu di daulah Persia, bahkan beliau mengisyaratkan tentang kekalahan pasukan perang Jamal yang merupakan sahabat pilihan tatkata mereka menyerahkan kepemimpinan kepada Aisyah, ummul mukiminin. Sedangkan rawi lehih tahu tentang makna hadits daripada selainnya". 14

4 Sebab Penurunan Hadits
Maksudnya, Nabi mengucapkan sabdanya tersebut karena memang ketika itu kondisi negeri Persia dalam keadaan bobrok dan menyerahkan kepemimpinan kepada seorang anak perempuan muda yang tidak tahu apa-apa. Seandainya situasi politik waktu itu aman dan pemimpin putri tersehut cerdas, tentu komentar Nabi berbeda dengan yang ada sekarang.
Jawab:
1. Dari manakah anda mendapatkan wahyu tentang sebab penuturan hadits tersehut?!
2. Taruhlah benar, bahwa sebab penurunannya demikian tetap saja tertolak karena hadits ini bersifat umum ditinjau dari beberapa segi:
a) Berdasarkan kaidah:
Rawi hadits lebih tahu tentang makna hadits riwayatnya. Rawi hadits ini yaitu sahabat yang mulia, Abu Bakrah memahami secara umum, bahkan menerapkan hadits ini di saat tnah perang Jamal bahwa pasukan yang dipimpin oleh Sayyidah Aisyah akan mengalemi kekalahan. Beliau berkata: Maka saya tahu bahwa pasukan Jamal (yang dipimpin Aisyah) tidak akan menang.
b) Berdasarkan kaidah:
Isim nakirah jatuh setetah na, maka menunjukkan arti umum Bila kita cermati, maka kaidah ini dapat diterapkan pada hadits pembahasan karena lafazh ( « ) dan ( ai;}I ) termasuk isim nakirah yang jatuh setelah la nayah ( =.1i ), berarti menunjukkan arti umum.
c) Berdasarkan kaidah:
Yang menjadi patokan adalah keumuman lafazh, bukan kekhususan sebab.
d) kesepakaten faham para ulama -seperti penjelasan di atas- bahwa makna hadits ini mencakup keumuman wanita.

5 Perubahan Zaman Seperti Ungkapan Ibu Juwairiyah Dahlan
Jawab:
1. Setelah membaca tulisan tersebut, saya bertanya-tanya dalam hati sendiri: "Mungkinkah kalimat seperti itu muncul dari seorang muslimah?!". Seketika itu pula saya sadar dan bergumam: "Ah, wajar aja-lah, orang yang bilang begituan orang IAIN!!!". Saya katakan wajar karena memang pemikiran-pemikiran nyeleneh bin sesat bin menyesatkan yang bersifat merontokkan agama seperti itu sudah merupakan sarapan harian dalam dunia IAIN. Oleh karennya tak heran tatkata Ad-Dajjal, Ulil Abshar Abdalla, intetek muda NU dan lokomatif Jaringan Islam Liberal (JIL) menulis dalam artikel dan wacananya yang sangat keji "Menyegarkan kembali Pemahaman Islam"; "Saya meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah "organisme" yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ketujuh masehi..." Tahukah anda siapa orang yang mula-mula berbondong-bondong mendukungnya?!
2. Sadarkah ibu Jauwairiyah Dahlan bahwa tulisannya tersebut berisi celaan terhadap isteri-isteri Nabi, sahabat dan ulama salaf, para wanita yang dipuji oleh Allah dan rasul-Nya?!! Apakah dia tidak membaca rman Allah: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertlngkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat. (QS. AIAhzab:33).
3. Bagaimana dia menganggap bahwa wanita pada sekarang lebih cerdas daripada wanita dahulu, zaman padahal Nabi bersabda: Tidak datang suatu kaum pada kalian melainkan setelahnya lebih jelek daripada sebelumnya sehingga kalian berjumpa dengan Rabb kalian. (HR. Bukhari no. 7068).
4. Katakanlah padaku -wahai saudara pembaca-: "Adakah wanita di dunia sekarang yang lebih pandai daripada ibunda Aisyah?! Lebih pandai dalam hal apa? Apakah dalam hal berdandan dan bersolek? Ataukah dalam tata negara? Atau? Atau? Jawablah!"
5. Kalau kita membuka lowongan pemimpin wanita. Lantas apa patokannya'? bagaimana
kriterianya? Dan apa dalilnya?

Problematika Dan Solusinya
Mungkin timbul tanda tanya di benak kita: "Bila memang pemimpin perempuan tidak boleh dalam Islam, lantas bagaimana dengan kepemimpinan kira sekarang? Apakah boleh bagi kita untuk memberontak dan menggoyang kursinya?"
Saya katakan: Sabar dan tenanglah, janganlah kita terbawa oleh arus emosi yang kerapkali menjadikan pelakunya kebablasan tak terkendalikan diri sehingga lalai dari bimbingan cahaya ilahi dan menyimpang dari rel syar'i. Ketahuilah wahai saudaraku - semoga Allah merahmatimu- bahwa sekalipun secara kaidah, wanita tidak boleh menjadi pemimpin negara, namun bila memang hal itu telah terjadi seperti kenyataan di negeri kita sekarang ini, maka Islam memerintahkan kira agar tetap mematuhinya dan tidak memberontaknya untuk menghindari timbulnya kerusakan yang lebih besar. Coba kira renungkan bersama pesan Nabi: Aku wasiatkan kalian dengan taqwa kepada Allah dan mendengar serta taat pada pemimpin sekalipun dia adalah budak.
AI-Hazh Ibnu Rajab Al-Hanbali menjelaskan:
"Dua kalimat ini menghimpun kebahagiaan dunia dan akherat. Wasiat taqwa merupakan kunci kebahagiaan akherat, sedangkan taat kepada pemimpin merupakan kunci kebahagiaan dunia".
Cermatilah hadits ini baik-baik! Para ulama bersepakat bahwa budak tidak boleh menjadi pemimpin. Walaupun demikian, seandainya memang dia terangkat menjadi pemimpin, maka tetap wajib bagi rakyatnya untuk mendengar dan taat padanya demi memadamkan api tnah dan menjaga terpeliharanya nyawa selagi tidak memerintahkan
ma'siat.
Bagaimanapunjuga, siapa sih orangnya yang tak mendambakan sosok seorang pemimpin ideal yang mampu mengayomi rakyat, menegakkan hukum Islam yang membawa kepada kebahagiaan, ketentraman, baldatun thoyyibatun wa rabbun Ghafur, gemah ripah loh jinawi (jawa). Semua kita pasti mendambakannya kecuali mungkin orang yang akalnya sudah miring dan perlu dibawa ke rumah sakit jiwa. Tapi bagaimanakah langkah untuk menggapainya?! Kapankah kira akan meraih dan mendapatkannya?! Jawabannya dapat kira temukan dalam Al-Qur'an sebagai berikut Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang zalim itu menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang rnereka usahakan. (QS. Al-An'am: 129).
Dalam ayat yang mulia ini terdapat faedah bahwa "apabila hamba banyak melakukan kedzaliman dan dosa-dosa, maka Allah akan menjadikan bagi mereka para pemimpin dzallm yang mengajak kepada kejelekan. Sebaliknya, apabila mereka baik, shalih dan istigomah dalam ketaatan, niseaya Allah akan mengangkat bagi mereka para pemimpin yang adil dan haik."Tegasnya, metode mendapatkan pemimpin ideal kembali pada diri kita, bukan dengan sibuk mencaci pemerintah, kudeta dan sebagainya, tetapi dengan bertaubat kepada Allah, memperbaiki aqidah, mendidik dan menanamkan Islam yang shahih pada diri dan keluarga kita masing-masing sebagai realisasi dari rman Allah: Sesugguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehimgga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra'ad 11).
Hal ini seperti yang disinyalir oleh seorang tokoh aktivis dakwah modern dalam ucapannya: Tegakkanlah daulah lslam di hati kalian, miscaya akan terwujud daulah islam di atas bumi kalian. Madah-Mudahan kaum muslimin dapat menyadari hal ini.

Mau diapakan?

Anda dapat pula menandai artikel ini dengan layanan berikut:

Artikel yang berhubungan!



0 komentar: to “ Polemik Presiden Wanita